“FENOMENA
PERILAKU GURU AMORAL”
Sebuah Ikhtiar Menuju
Pendidikan Berkeadaban
Oleh, Moh. Zaini., M.Pd
Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (Qs.
ash- Shaff [61], 2-3)
Tugas seorang guru, tentu bukanlah
tugas yang mudah, dan main-main. Peran dan tanggungjawabnya tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara personal, lebih secara komunal. Dalam arti,
bahwa seorang guru harus mempertanggungjawabkan segala bentuk sikapnya kepada
peserta didik, orangtua wali, publik, pemerintah, bahkan kelak dihadapan
Allah juga dipertanyakan. Pemahaman masyarakat Indonesia lebih populer
menyatakan, bahwa Guru adalah digugu dan ditiru. Dari pemahaman
inilah yang mengharuskan lahirnya konsep guru yang rigid dan paripurna
sebagai gambaran atau model seorang guru yang sebenarnya. Guru adalah soso’
manusia model, -yang secara langsung atau tidak langsung segala sikapnya
diteladani oleh peserta didiknya.
Dalam kontek pendidikan Islam pendidik atau guru disebut dengan Murobbi,
Mu’allim dan Muaddib. Istilah “Murobbi”, sering dijumpai dalam
kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang
bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses
orang tua dalam membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan
pelanyanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan
berkepribadian serta akhlak yang terpuji.
Sedangkan untuk istilah “Muallim”, pada umumnya dipakai dalam
membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan
ilmu pengetahuan, dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu.
Adapun istilah “Muaddib”, menurut Al-Attas, lebih lebih luas dari
istilah “Muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.
Kedudukan orang ‘alim dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan
ilmunya dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain sebagai suatu
pengamalan yang paling dihargai oleh Islam. Mengutip kitab Ihya’ Al-Ghazali
yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia
sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting. Guru selalu terkait
dengan ilmu pengetahuan dan moralitas. Pengahargaan Islam terhadap ilmu
tergambar dalam sebuah sebuah hadits: "Apabila
seorang alim meninggal maka terjadilah kekosongan dalam Islam yang tidak
dapat diisi kecuali oleh seorang alim yang lain.".
Oleh karena itu, dalam hal ini
seorang Guru / Ustadz betul-betul diposisikan sebagai manusia yang syarat
dengan nilai-nilai ‘keluhuran’ dalam mengamalkan ilmunya, baik untuk
‘amaliyah keseharianya, ataupun diajarkan dan dididikkan ke peserta didiknya.
Dengan konsepsi ini, tentunya seorang guru tidak terlepas dari nilai-nilai
ilahiah, - yang semuanya disandarkan kepada ajaran-ajaran kebenaran al-Qur’an
dan al-Sunnah.
Dalam islam guru mempunyai profesi
yang amat mulia, karena pendidikan adalah salah satu tema sentral islam. Nabi
sendiri sering disebut sebagai “Pendidik Kemanusiaan” (educator of mindkind).
Menjadi seorang guru bukan hanya karena memenuhi kualifikasi keilmuan dan
akademik saja, tapi seorang guru juga harus memiliki akhlak terpuji. Sebagaimana pernyataan al-Ghozali, bahwa
guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan
sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara
mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi murid – muridnya. Terkait dengan pertanggungjawaban di akhirat kelak, Sufyan
bin Uyainah Rahimahullohu berkata, (أَّشَدُّ
النَّاسِ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ) “Orang yang paling besar
penyesalannya pada hari kiamat nanti ada tiga; - yang salah satu diantara
yang tiga itu adalah ( وَرَجُلٌ عَالِمٌ لَمْ يَنْتَفِعْ
بِعِلْمِهِ فَعَلَّمَ غَيْرَهُ فَانْتَفَعَ بِهِ ) yaitu seorang alim (berilmu) yang
tidak mengamalkan ilmunya, lalu ia mengajarkan kepada orang lain, sedang ia
(orang lain) mengamalkannya” (Shifatush Shafwah: 2/235).
Guru dalam pandangan UU No. 14 tahun
2005, bahwa guru harus memiliki empat kompetensi; pedagogik, kepribadian,
profesional dan sosial. Dalam hal ini, -yang seringkali menjadi persoalan
adalah tingkat kematangan kepribadian seorang guru (kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia). Meski demikian, idealitas konsep ini ‘sudah mulai
disangsikan’, mengingat guru seringkali melakukan tindakan ‘Amoral’ yang
cenderung sangat membahayakan bagi pengembangan kepribadian anak di sekolah.
Berbagai fakta telah dibuktikan bahwa gurulah pelakunya, baik menyangkut kasus
kekerasan, pelecehan secara psikis, bahkan secara fisik. Jika seperti ini
faktanya, tentu idealitas konsep dari profil guru saja tidak cukup, tetapi
lebih dari hal itu adalah bagaimana lembaga pendidikan dan publik mempersiapkan
diri dengan control dan penyadaran sistem yang kuat bahwa pendidikan anak
tidak hanya menjadi tanggungjawab utama guru dan wali, bahkan lebih dari itu
adalah tanggungjawab publik.
Mengemukanya kasus-kasus pelecehan
dewasa ini bukan hanya kesalahan ‘person’, tetapi kesalahan yang bersifat
sistemik yang melibatkan semua stakeholders. Semestinya semua pihak
memberikan pengawasan, mulai dari pemerintah (dinas pendidikan), yayasan yang
menaungi lembaga pendidikan, kepala sekolah, dewan guru, wali peserta didik,
bahkan setiap anggota masyarakat yang mungkin anaknya tidak disekolahkan di
satuan pendidikan tersebut pun memiliki tanggungjawab yang sama.
Islam dalam hal ini menawarkan sebuah
konsep kemashlahatan bersama yang dikuatkan dengan “watawashaw bil haq
watawashaw bis shabr”. Konsep ini bersifat universal, dalam artian bahwa
tanggungjawab untuk mencapai sebuah kemashlahatan tersebut tidak hanya
menjadi tanggung para ‘alim, guru, kepala sekolah, dll..tetapi tanggungjawab
bersama, yaitu semua orang tanpa memandang kelas, status dan jabatannya.
Inilah yang disebut dengan hablun minallah, hablun minan nas, wa hablun
minal ‘alam. Ketiga-tiganya memiliki hubungan keterkaitan yang erat dan
teraplikasikan secara sinergis. Jika
aspek-aspek ini betul-betul masuk dalam dunia pendidikan sebagai sebuah ruh
dan spiritnya, tentu akan mampu
mendorong setiap stakeholders pendidikan pada sebuah pencapaian tujuan
pendidikan yang sebenarnya. Al hasil, guru-gurunya adalah guru teladan,
peserta didiknya bermoral, lembaga pendidikannya dapat dipercaya, serta
masyarakatnya secara penuh memberikan perhatian, sehingga tatanan yang ada
menjadi satu sistem pendidikan yang kuat dan berkeadaban.
Dari setiap permasalahan yang ada
pasti melahirkan hikmah dan rahmah, yaitu hikmah tentang mutu
yang lebih baik, norma yang lebih tertib dan sistem kontrol yang lebih api’.
Sebagaimana firman Allah swt "fainna
ma’al ‘usri yusro.. innama’al ‘usri yusro…". Wallahu A’lam...
|
Jumat, 18 Maret 2016
Fenomena Perilaku Guru 'Amoral'
Langganan:
Postingan (Atom)