Jumat, 18 Maret 2016

Fenomena Perilaku Guru 'Amoral'

FENOMENA PERILAKU GURU AMORAL
Sebuah Ikhtiar Menuju Pendidikan Berkeadaban

 Oleh, Moh. Zaini., M.Pd
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (Qs. ash- Shaff [61], 2-3)


Tugas seorang guru, tentu bukanlah tugas yang mudah, dan main-main. Peran dan tanggungjawabnya tidak hanya dipertanggungjawabkan secara personal, lebih secara komunal. Dalam arti, bahwa seorang guru harus mempertanggungjawabkan segala bentuk sikapnya kepada peserta didik, orangtua wali, publik, pemerintah, bahkan kelak dihadapan Allah juga dipertanyakan. Pemahaman masyarakat Indonesia lebih populer menyatakan, bahwa Guru adalah digugu dan ditiru. Dari pemahaman inilah yang mengharuskan lahirnya konsep guru yang rigid dan paripurna sebagai gambaran atau model seorang guru yang sebenarnya. Guru adalah soso’ manusia model, -yang secara langsung atau tidak langsung segala sikapnya diteladani oleh peserta didiknya.
Dalam kontek pendidikan Islam pendidik atau guru disebut dengan Murobbi, Mu’allim dan Muaddib. Istilah “Murobbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua dalam membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelanyanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan berkepribadian serta akhlak yang terpuji.
Sedangkan untuk istilah “Muallim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan, dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “Muaddib”, menurut Al-Attas, lebih lebih luas dari istilah “Muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.
Kedudukan orang ‘alim dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain sebagai suatu pengamalan yang paling dihargai oleh Islam. Mengutip kitab Ihya’ Al-Ghazali yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting. Guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan dan moralitas. Pengahargaan Islam terhadap ilmu tergambar dalam sebuah sebuah hadits: "Apabila seorang alim meninggal maka terjadilah kekosongan dalam Islam yang tidak dapat diisi kecuali oleh seorang alim yang lain.".
Oleh karena itu, dalam hal ini seorang Guru / Ustadz betul-betul diposisikan sebagai manusia yang syarat dengan nilai-nilai ‘keluhuran’ dalam mengamalkan ilmunya, baik untuk ‘amaliyah keseharianya, ataupun diajarkan dan dididikkan ke peserta didiknya. Dengan konsepsi ini, tentunya seorang guru tidak terlepas dari nilai-nilai ilahiah, - yang semuanya disandarkan kepada ajaran-ajaran kebenaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam islam guru mempunyai profesi yang amat mulia, karena pendidikan adalah salah satu tema sentral islam. Nabi sendiri sering disebut sebagai “Pendidik Kemanusiaan” (educator of mindkind). Menjadi seorang guru bukan hanya karena memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademik saja, tapi seorang guru juga harus memiliki akhlak terpuji.  Sebagaimana pernyataan al-Ghozali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi murid – muridnya. Terkait dengan pertanggungjawaban di akhirat kelak, Sufyan bin Uyainah Rahimahullohu berkata, (أَّشَدُّ النَّاسِ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ) “Orang yang paling besar penyesalannya pada hari kiamat nanti ada tiga; - yang salah satu diantara yang tiga itu adalah ( وَرَجُلٌ عَالِمٌ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ فَعَلَّمَ غَيْرَهُ فَانْتَفَعَ بِهِ ) yaitu seorang alim (berilmu) yang tidak mengamalkan ilmunya, lalu ia mengajarkan kepada orang lain, sedang ia (orang lain) mengamalkannya” (Shifatush Shafwah: 2/235).
Guru dalam pandangan UU No. 14 tahun 2005, bahwa guru harus memiliki empat kompetensi; pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Dalam hal ini, -yang seringkali menjadi persoalan adalah tingkat kematangan kepribadian seorang guru (kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia). Meski demikian, idealitas konsep ini ‘sudah mulai disangsikan’, mengingat guru seringkali melakukan tindakan ‘Amoral’ yang cenderung sangat membahayakan bagi pengembangan kepribadian anak di sekolah. Berbagai fakta telah dibuktikan bahwa gurulah pelakunya, baik menyangkut kasus kekerasan, pelecehan secara psikis, bahkan secara fisik. Jika seperti ini faktanya, tentu idealitas konsep dari profil guru saja tidak cukup, tetapi lebih dari hal itu adalah bagaimana lembaga pendidikan dan publik mempersiapkan diri dengan control dan penyadaran sistem yang kuat bahwa pendidikan anak tidak hanya menjadi tanggungjawab utama guru dan wali, bahkan lebih dari itu adalah tanggungjawab publik.
Mengemukanya kasus-kasus pelecehan dewasa ini bukan hanya kesalahan ‘person’, tetapi kesalahan yang bersifat sistemik yang melibatkan semua stakeholders. Semestinya semua pihak memberikan pengawasan, mulai dari pemerintah (dinas pendidikan), yayasan yang menaungi lembaga pendidikan, kepala sekolah, dewan guru, wali peserta didik, bahkan setiap anggota masyarakat yang mungkin anaknya tidak disekolahkan di satuan pendidikan tersebut pun memiliki tanggungjawab yang sama.
Islam dalam hal ini menawarkan sebuah konsep kemashlahatan bersama yang dikuatkan dengan “watawashaw bil haq watawashaw bis shabr”. Konsep ini bersifat universal, dalam artian bahwa tanggungjawab untuk mencapai sebuah kemashlahatan tersebut tidak hanya menjadi tanggung para ‘alim, guru, kepala sekolah, dll..tetapi tanggungjawab bersama, yaitu semua orang tanpa memandang kelas, status dan jabatannya. Inilah yang disebut dengan hablun minallah, hablun minan nas, wa hablun minal ‘alam. Ketiga-tiganya memiliki hubungan keterkaitan yang erat dan teraplikasikan secara sinergis.  Jika aspek-aspek ini betul-betul masuk dalam dunia pendidikan sebagai sebuah ruh dan spiritnya, tentu  akan mampu mendorong setiap stakeholders pendidikan pada sebuah pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Al hasil, guru-gurunya adalah guru teladan, peserta didiknya bermoral, lembaga pendidikannya dapat dipercaya, serta masyarakatnya secara penuh memberikan perhatian, sehingga tatanan yang ada menjadi satu sistem pendidikan yang kuat dan berkeadaban.
Dari setiap permasalahan yang ada pasti melahirkan hikmah dan rahmah, yaitu hikmah tentang mutu yang lebih baik, norma yang lebih tertib dan sistem kontrol yang lebih api’. Sebagaimana firman Allah swt  "fainna ma’al ‘usri yusro.. innama’al ‘usri yusro…". Wallahu A’lam...



Ù Praktisi Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa komentar konstruktif anda..??